lebih Lanjut, Klik Link di bawah ini: Testimoni Penonton Film Emak Ingin Naik Haji: http://www.facebook http://www.youtube. Menonton dan Menangisi Indonesia: Film "Emak Ingin Naik Haji" yang Sederhana Namun Sangat Menyentuh Oleh Hernowo Sebelum pemutaran film secara khusus dimulai, tiga orang yang punya peran besar dalam melahirkan film Emak Ingin Naik Haji pun angkat bicara. Tiga orang itu adalah Putut Widjanarko, Asma Nadia, dan Aditya Gumay. Adtya adalah sutradara film Emak. Dia bercerita secara menarik tentang munculnya ide pembuatan film ini. Pada 2007, Aditya membaca sebuah cerita pendek di majalah Noor. Cerpen itu merupakan karya Asma Nadia yang berjudul "Emak Ingin Naik Haji". Membaca cerpen tersebut, Aditya pun tergerak untuk memfilmkannya. Namun, dia tidak tahu alamat dan nomor kontak Asma Nadia. Akhirnya, Aditya mendapatkannya setelah bertamu ke Mizan Productions yang waktu itu sedang sukses dengan film Laskar Pelangi. Aditya menggarap film Emak dengan penuh perasaan. Adegan-adegan yang diflmkan begitu sederhana, tidak berlebihan, dan—katakanlah—apa adanya. Saya mendapat kesan, itulah Indonesia—katakanlah Indonesia sehari-hari. Mudah sekali saya menikmati film ini ketika saya mendapatkan kesempatan menonton film ini, secara khusus, pada Kamis, 5 November 2009, di FX Plaza, Senayan, Jakarta. Saya tidak terbiasa menangis ketika menonton film. Entah kenapa, di dalam menonton film ini, saya tidak dapat membendung tetesan air mata saya berkali-kali. Cengeng? Saya tidak tahu. Film Emak serasa dekat dengan diri saya yang orang Indonesia. Film tersebut seperti menghadirkan keadaan di Indonesia yang sering saya dengar tetapi masih sulit saya visualisasikan. Saya hanya mendengar. Berkat film Emak, saya bisa merasakan betapa masih banyak orang miskin yang tidak mampu makan daging ayam. (Dalam film Emak, gambaran ini ditampilkan dalam adegan seorang anak yang makan daging bangkai burung.) Saya juga bisa merasakan betapa tak sedikit pegawai PNS yang terbelit dengan utang sehingga tidak mampu membiayai anggota keluarganya yang tiba-tiba sakit parah. (Dalam film Emak, gambaran ini diwakili oleh seorang ibu yang harus pontang-panting pinjam sana dan pinjam sini dengan berurai air mata—kadang air matanya berupa "air mata buaya".) Saya juga bisa merasakan sekali betapa ada orang-orang baik yang akhirnya mengambil jalan pintas menjadi maling gara-gara kepepet dan tertekan. (Dalam film Emak, adegan ini digambarkan sedikit menegangkan dan cukup menggugah karena mengaitkan dengan Kitab Suci Al-Quran.) Dan, tentu, masih banyak yang saya rasakan, misalnya jurang kaya-miskin yang luar biasa lebarnya, serta bagaimana lotere atau judi senantiasa menyengsarakan rakyat kecil. Yang sangat mengagetkan saya, ending dari film ini sungguh memberikan kejutan. Ternyata tak semua orang kaya itu tidak punya nurani. Film Emak bagaikan sebuah cermin yang dapat kita gunakan untuk mengaca dan memperbaiki diri….[] --- On Mon, 11/9/09, Ahmad Samantho <ay_samantho@
|
Commentary of Holy Qur'an http://al-islam.org/tahrif_quran/
Du'a - http://www.duas.org
Islam - http://www.al-islam.org
Free Islamic Books -http://www.winislam.com
http://www.islamic-message.net/English/index.htm